
Rafmateti Ungkap Kesulitan Belajar di Rumah bagi ABK pada Masa Pandemi
SLBAUTISMA-YPPAPADANG.sch.id - Ada beberapa permasalahan yang terjadi ketika Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) harus mulai belajar di rumah karena pandemi COVID-19. Menurut Rafmateti S.Pd, salah seorang Pemilik Pkh Autisma YPPA Sumatera Barat perlu pengenalan baru pada anak terkait belajar di rumah.
Konsep yang sudah
tertanam pada diri anak bahwa belajar harus dilakukan di sekolah membuat para
orangtua kesulitan. Akibatnya, anak-anak sangat sulit untuk diajak belajar di
rumah.
“Yang kedua konsepnya
orangtua bukanlah guru bagi mereka, ini keluhan dari orangtua. Mereka sudah
terbiasa bahwa guru itu ya di sekolah,” kata Rafmateti dalam webminar Konekin,
Sabtu (6/6/2020).
Masalah lainnya,
suasana rumah dapat menjadi faktor yang mengganggu konsentrasi dan fokus
anak. Lebih jauh lagi, menurutnya, seringkali materi ajar tidak dikuasai
oleh orangtua. Mereka tidak sanggup menghadapi anaknya.
“Ini realita di
lapangan, pada minggu pertama, kedua, dan ketiga justru kita lebih ke orangtua
dulu bagaimana mereka intinya bisa berdamai dengan anak-anaknya. Karena orangtua
tidak hanya menghadapi anak yang berkebutuhan khusus, mereka juga memiliki anak
lain yang perlu didampingi.”
Menurut Rafmateti,
kendala utama dalam praktik belajar di rumah adalah tidak semua anak memiliki
gawai.
“Sejak masa tiga bulan
kemarin, hanya 30 persen anak kita yang bisa kita berikan belajar di rumah via
daring, 70 persen lagi tidak bisa. Saya rasa SLB lain pun permasalahannya
sama.”
Selama masa Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) pihak sekolah melakukan pemetaan terhadap siswa
yang tidak dapat terhubung. Setelah dipetakan, pihak sekolah melakukan
kunjungan ke rumah.
“Kunjungan ke rumah di
Kota Padang tidak disarankan, apalagi sekolah kami itu termasuk zona merah.
Jadi saya inisiatif menjalankan protokol kesehatan dengan menggunakan sarung
tangan. Saya kunjungi anak-anak sendirian untuk meminimalisasi risiko.”
70 persen anak yang
tidak dapat dihubungi ternyata tidak seluruhnya bisa diakses tempat tinggalnya
karena area perumahannya ditutup. Namun, diketahui 70 persen anak ini tidak
dapat dihubungi karena orangtua tidak memiliki gawai dan masalah ekonomi akibat
COVID-19.
Tak sedikit dari
anak-anak yang keluarganya mengalami ketahanan pangan yang buruk. Bahkan mereka
kesulitan mendapatkan makanan.
Hal ini membuat tujuan
utama Rafmateti yang awalnya ingin memberikan hak belajar anak berubah menjadi
memenuhi kebutuhan pangan anak terlebih dahulu.
“Saya membangun
jejaring dengan komunitas, dinas sosial, dan pemerhati untuk memenuhi kebutuhan
anak-anak. Pandemi tidak hanya berdampak pada hak belajar mereka tapi juga hak
tumbuh dan berkembang,” kata Rafmateti. (*)